Mungkin ada rahasia di dalam rasa bersalahmu
Disana ada mereka tanpa aku
Rahasia itu adalah perkecualian
Kecuali aku, kecuali tentang diriku
Disana kau suratkan sebuah janji dan kerinduan
Dimana surgalah tempat kau membayar habis ikrar sucimu
Tetapi bagaimanakah jaminan akan itu?
Tolong jangan dusta bermain lagi pada dongeng yang sudah
kuanggap selesai
"Jangan bohong lagi,ya, aku tunggu di surga."
Semoga ada yang mau mengakui hari itu. Imaji ini tidak akan kekal dalam lingkup imajiner. Tuhan tidak pernah bermain timbangan. Dimana rasa sakit dan sesak akan digantikan kebebasan tanpa syarat. Diingat tanpa diakui pun sudah cukup bila ingatan itu dibawanya pula pada doa, layaknya yang dia lakukan pada mereka, dirinya tak pernah lelah berdoa tanpa didoakan, ya, memang bukan seorang biksu atau pendoa. Tetapi dia bahagia.
Selama ini mimpinya terkubur semakin dalam dan dalam merengkuh inti panasnya bumi, sepanas bara yang dinyalakan dendam dan kebencian di dalam sesaknya. Bercakap, sopan santun, kepedulian ada padanya yang dulu ditumbuhkan pada prosesnya. Prosesnya dulu. Diapun memilih "bangunan" itu sebagai persinggahan sementaranya untuk memperbaiki proses tersebut. Bangunan itu menerimanya dengan lapang dada, sumringah, dan ikhlas, tetapi tidak dengan jantung hati di dalamnya. Semua prosesnya dipotong, dihentikan, dimatikan, gelap, dia mati rasa. Sopan santunnya terganti sekelumit dendam yang terpendam dalam genggaman tangan, cakapnya tak seelok nyanyian malaikat dan terganti kesedihan yang merajalela mengincar setiap sudut dari tubuhnya. Dan pedulinya hanya pada dirinya. Dia dan hanya dia yang mengasihinya. Gelap, dia tak bisa melihat apa-apa. Semua membuatnya buta.
Tiga ratus enam puluh lima hari. Hitamnya yang menyelar kulit indahnya membuatnya membabi buta membalaskan dendam pada yang mau menerimanya tanpa syarat. Setumpuk tulisan dan angka, mereka tak pernah memberontak, mereka tak pandang siapa yang membaca dan memperhatikannya setiap saat, mereka ikhlas. Mereka butuh dia. Dan mereka membalaskan budi dengan rasa bangga walau tak dapat mencapai seluruh Nusantara. Bahagiakah dia? Tidak. Tetap saja dia tak dapat membuat sesuatu bagi si jantung hati bangunan itu.
29 garis akhir atau garis awal. Dendam, sedih, kesia-siaan, kebutaan, ketidakpekaan, tekanan, depresi, akankah terjadi kembali? Mencoba keluar sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tak terhitung yang membawanya semakin dekat dengan kebinasaan. Sekarang mati. Jasadnya semakin diludahi dan diinjak kaki-kaki manusia terutama mereka yang agung. Sakit. Sesak. Mana kebebasan yang Tuhan janjikan itu? Harus sampai sesak seperti apa jantung ini menahannya.
Pada hari itu hanya ingin imaji itu tidak semakin menjadi-jadi. Ingin diterima jantung hati yang manis itu, yang kata orang itu menyala merah dan mencolok di permukaan. Bangunan itu ikhlas menampungnya bahkan jasadnya, tetapi mengapa jantung hati itu tidak. Dia hanya ingin ikhlas dan kebergunaan di dalamnya. Dia ingin menjadi agung dan berharga bagi jantung hatinya. Dia tidak ingin dibunuh rasa bersalah dan dendam pada masa mudanya.
Imaji itu tidak kekal...
Tergerai ruai menebas berbalap dengan angin
Dironcenya rupawan pada setiap senyumnya
Gitarnya terpetik tangan adikuasanya
Lantunan syairnya jatuh dirinaikan hujan pada bibir dermaga
Tidak peduli kau dewata, pujangga, atau penembang
Tinta hitam dan sekucal kertas tua
Bertumpuk kitab para penyair terdahulu
Atau lira tua yang seakan terpangku ambisimu
Tetap saja sepasang mata cokelat yang kau puisikan itu
Yang berakrobat pada hatimu setiap degupannya
Tak mengharap lagu syahdu karena dia sudah kagum
Aku terposisikan disana, hasil tangan batara
Untuk Fiersa Besari,
Dari seorang penulis yang teramat amatir untuk menuliskanmu
Iya dan tidak semua salah, semua benar
Mulut Avernus menganga lebar, dia sudah lapar
Tak punya obolos pada keping-keping bagakku
Akheron akan menghanyutkanku, Kharon akan membuangku
Sebelumku singgah pada penghakiman kesekianku
Minos, Rhadamanthus, dan Aiakos
Tiga tangan pokok yang mencengkeram batasan
Pangkal gulita, tak ada sempadan
Biang hitam, kuasai sembiran
Sebelum imaji pada penjagaan Kerberos
Berkecai lantah kuasa dalam diri seorang hamba
Menjadi sepaian gamam berkejaran pada suatu gidikan
Apakah Asphodel tempatku mendulang,
Atau Tartaros ku kan berpulang,
Tak mungkin pada Elsium ku akan bersulang;
Dia masih saja bimbang akan dirinya.
Hades merupakan dewa penguasa dunia bawah tanah, dirinya identik dengan kematian karena kepercayaan bahwa orang mati akan menempuh kembali perjalanan hidupnya menuju penghakiman terakhirnya di dunia bawah tanah. Avernus-lah pintu yang menjembatani kedua dunia tersebut dengan harus melalui sungai Akheron bila ingin sampai pada penghakiman terakhirnya dan bertemu Minos, Rhadamanthus, dan Aiakos. Mereka akan menghubungkan jiwa-jiwa mati tersebut pada 3 jalan yang berbeda, sesuai bagaimana jiwa tersebut pernah hidup.