Imaji yang Menjadi Jadi

06.55 Unknown 1 Comments

Semoga ada yang mau mengakui hari itu. Imaji ini tidak akan kekal dalam lingkup imajiner. Tuhan tidak pernah bermain timbangan. Dimana rasa sakit dan sesak akan digantikan kebebasan tanpa syarat. Diingat tanpa diakui pun sudah cukup bila ingatan itu dibawanya pula pada doa, layaknya yang dia lakukan pada mereka, dirinya tak  pernah lelah berdoa tanpa didoakan, ya, memang bukan seorang biksu atau pendoa. Tetapi dia bahagia. 

Selama ini mimpinya terkubur semakin dalam dan dalam merengkuh inti panasnya bumi, sepanas bara yang dinyalakan dendam dan kebencian di dalam sesaknya. Bercakap, sopan santun, kepedulian ada padanya yang dulu ditumbuhkan pada prosesnya. Prosesnya dulu. Diapun memilih "bangunan" itu sebagai persinggahan sementaranya untuk memperbaiki proses tersebut. Bangunan itu menerimanya dengan lapang dada, sumringah, dan ikhlas, tetapi tidak dengan jantung hati di dalamnya. Semua prosesnya dipotong, dihentikan, dimatikan, gelap, dia mati rasa. Sopan santunnya terganti sekelumit dendam yang terpendam dalam genggaman tangan, cakapnya tak seelok nyanyian malaikat dan terganti kesedihan yang merajalela mengincar setiap sudut dari tubuhnya. Dan pedulinya hanya pada dirinya. Dia dan hanya dia yang mengasihinya. Gelap, dia tak bisa melihat apa-apa. Semua membuatnya buta. 


Tiga ratus enam puluh lima hari. Hitamnya yang menyelar kulit indahnya membuatnya membabi buta membalaskan dendam pada yang mau menerimanya tanpa syarat. Setumpuk tulisan dan angka, mereka tak pernah memberontak, mereka tak pandang siapa yang membaca dan memperhatikannya setiap saat, mereka ikhlas. Mereka butuh dia. Dan mereka membalaskan budi dengan rasa bangga walau tak dapat mencapai seluruh Nusantara. Bahagiakah dia? Tidak. Tetap saja dia tak dapat membuat sesuatu bagi si jantung hati bangunan itu. 

29 garis akhir atau garis awal. Dendam, sedih, kesia-siaan, kebutaan, ketidakpekaan, tekanan, depresi, akankah terjadi kembali? Mencoba keluar sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tak terhitung yang membawanya semakin dekat dengan kebinasaan. Sekarang mati. Jasadnya semakin diludahi dan diinjak kaki-kaki manusia terutama mereka yang agung. Sakit. Sesak. Mana kebebasan yang Tuhan janjikan itu? Harus sampai sesak seperti apa jantung ini menahannya. 

Pada hari itu hanya ingin imaji itu tidak semakin menjadi-jadi. Ingin diterima jantung hati yang manis itu, yang kata orang itu menyala merah dan mencolok di permukaan. Bangunan itu ikhlas menampungnya bahkan jasadnya, tetapi mengapa jantung hati itu tidak. Dia hanya ingin ikhlas dan kebergunaan di dalamnya. Dia ingin menjadi agung dan berharga bagi jantung hatinya. Dia tidak ingin dibunuh rasa bersalah dan dendam pada masa mudanya.


Imaji itu tidak kekal...

1 komentar: