Jerat Reinkarnasi
Lucu, bukan?
Saat yang mati itu sebenarnya tak mati
Hanya saraf-saraf yang khawatirkannya
Hanya otot-otot yang tak ingin tulangnya roboh
Hanya urat-urat darah yang tak ingin remas keras jantungnya
Dan hiperbola tertuah saja dalam luapan rasa
Bisa, ya?
Kita ini lucu, ku pikir
Dengan mudahnya kita menjalani apa yang tak seharusnya
Aku baik kaupun demikian
Namun apa yang selama ini kau hindar dan ku khawatirkan?
Ah dasar penghalusi bodoh pembodoh pikir
Dan aku memang terbodohi adanya
Cerita tentang senja dalam hangat yang sebenarnya dingin
Cerita saat yang diceritakan telah lalu
Dan tuluslah yang ceritakan tanpa bual tanpa fiksi
Lalu aku bagimana? Ataukah selama ini?
Ya..
Bawaku dalam rasa kembali
Yang mati itu memang bereinkarnasi
"Selamat bertemu tuk kesekian kalinya"
Diri yang masih sama, ya, itu sama
Namun diri itu membawa sebuah cerah kembali dalam matanya
Aku merasakan termiliki sepasang lensa itu
Aku kembali! Aku kembali!
Semua bagian dalam pikir ini dengan sibuknya berceloteh
Yakinkan pemiliknya tuk percaya yang sudah tercipta
Desas desus desir, ah bodoh! Pikirku...
"Biarkan saja dia tak sama denganku, asalkan dia mampu menepati janjinya"
Karena janji itulah aku bisa berjanji padamu
Dan akhirnya...
Tetaplah bawaku bertahan dalam jeratan reinkarnasi itu
Aku ingin tetap seperti ini
Tak dicintai namun tak dibenci..
Aku merasa bahagia,
Kamis, 19 November 2015
Aku Masih Ada
Aku tahu aku bukanlah aku
Apa hanya saat ucap senandungkan baitnya saja?
Apa hanya saat itu saja bagian dari matamu ijinkanku milikinya?
Dan terlupakan saat jarum waktu tak memihak padaku lagi
Aku hanya mencoba tersenyum padamu yang tak melihatku lagi
Aku hanya mencoba bersuara padamu yang tak mendengarkanku lagi
Aku hanya mencoba nyata padamu yang tak bisa sentuhku lagi
Ya... Memang...
Aku salutkan aku seka linangmu di dalam angan
Dan kau masih saja tak mengerti
"Siapakah dalang di balik prosa ini?"
Di belakang di sudut suara itu
Ada rintihan jerit yang menderik
"Itu aku, aku, aku aku, aku"
Tak inginku tonjolkan adaku
Kau puja-puji dalang hikayat nyata pembawa tangis itu
Namun kau tak tahu
Bahwa yang tak terlihat itu yang kau alamatkan
Dan kau tak kan pernah tahu itu
Hanya saat itu dan tetap hanya pada saat itu
Aku bisa berkomunikasi pada jiwa yang berdimensi lain
Walau kita masih dalam satu yang sama
Bagai lawatan dalam kurung yang sama
Aku tak terengkuh olehnya
Frasaku tinggal cerita
Asaku tingga sepah
Aku tetap tak termanusiakan
Aku hanya ingin seperti mereka yang kau anggap ada
Aku ingin bak mereka yang kau tatap
Aku bukanlah ampas kenangan yang kau hempas
Dan aku belum mati
Namun mengapa kau membuatku seperti ada di dimensi lain?
Jujur..
Aku hanya ingin beri tahu
Kepercayaan pengganti jiwa itu ada padamu
Bunuh atau akan mati lagi..
Itu bergantung padamu
Ini bukanlah pergumulan rasa
Namun kepercayaan dalam rangkai frasa
Itu ada padamu
Ada padamu
Tolong hargai dan manusiakanku
Dendam pada Sebuah Janji
Di atas tanah yang sama
Yang tak lelahnya menantang diri
Diri yang terbalut kegagalan di masa lampau
Di atas rumput yang sama
Yang dengan kerasnya menertawai
Menertawai diri yang terhina lembut terolok dalam suatu kehormatan
Entah mengapa pula
Sebuah janji di dalam dendam
Membawaku dalam dunia dan atmosfer yang sama
Aku akan memecah langit membelahnya dengan caraku
Aku akan taklukan tarian angin dengan pikiranku
Aku ingin terbang menari mendominasinya
Dan aku akan pecahkan apa yang menghalangi jalannya
Entah suatu kutukan entah suatu mantra yang tertanam
Kegagalan itu dengan ramahnya memelukku
Kegagalan yang indah memang
Datangnya tidak menyakitkan namun sejujurnya iya
Aku hanya kosong
Aku tahu bahwa kegagalan itu siap tersenyum lembut merasuki kekosongan itu
Namun mereka?
Ternodai sebuah kutukan
Terkotori sebuah janji
Mereka yang inginkan, mereka yang perjuangkan
Mereka yang tidak siap untuk menikmati pelukannya
Mereka yang tidak pernah rasakan balutan duri di dalam kehangatan
Mereka tidak tahu
Namun aku tahu
Mata itu tak hentinya meluapkan apa yang ingin dia luapkan
Mata itu berbicara
Senyum ini menutupinya
Untuk yang pertama mungkin
Mereka akan tahu bagaimana rasanya
Memendam dendam yang tak dapat lagi dipendam
Dendam yang dengan sadis mencari pembalasan
Dendam yang terus dipuji di dalam olokan
Dan aku kalah melawannya
Dendam dalam sebuah janji
Dan sekarang mereka memilikinya
Keluarlah dengan keras dan meluap-luap
Dendam ini masih ada
Tepat setahun yang lalu
Aku merayakannya lagi dengan hal yang sama
Dendam itu semakin bertumbuh dan tak akan mati sebelum ku mati.
0 komentar: