Terkagum Tangan Batara

06.24 Unknown 0 Comments

Tergerai ruai menebas berbalap dengan angin
Dironcenya rupawan pada setiap senyumnya
Gitarnya terpetik tangan adikuasanya
Lantunan syairnya jatuh dirinaikan hujan pada bibir dermaga 

Tidak peduli kau dewata, pujangga, atau penembang
Tinta hitam dan sekucal kertas tua
Bertumpuk kitab para penyair terdahulu
Atau lira tua yang seakan terpangku ambisimu

Tetap saja sepasang mata cokelat yang kau puisikan itu
Yang berakrobat pada hatimu setiap degupannya
Tak mengharap lagu syahdu karena dia sudah kagum
Aku terposisikan disana, hasil tangan batara

Untuk Fiersa Besari,
Dari seorang penulis yang teramat amatir untuk menuliskanmu

0 komentar:

Terbenam ke Dunia Hades

07.19 Unknown 3 Comments

Iya dan tidak semua salah, semua benar
Mulut Avernus menganga lebar, dia sudah lapar
Tak punya obolos pada keping-keping bagakku
Akheron akan menghanyutkanku, Kharon akan membuangku
Sebelumku singgah pada penghakiman kesekianku

Minos, Rhadamanthus, dan Aiakos
Tiga tangan pokok yang mencengkeram batasan
Pangkal gulita, tak ada sempadan
Biang hitam, kuasai sembiran

Sebelum imaji pada penjagaan Kerberos
Berkecai lantah kuasa dalam diri seorang hamba
Menjadi sepaian gamam berkejaran pada suatu gidikan
Apakah Asphodel tempatku mendulang,
Atau Tartaros ku kan berpulang,
Tak mungkin pada Elsium ku akan bersulang;
Dia masih saja bimbang akan dirinya.


Hades merupakan dewa penguasa dunia bawah tanah, dirinya identik dengan kematian karena kepercayaan bahwa orang mati akan menempuh kembali perjalanan hidupnya menuju penghakiman terakhirnya di dunia bawah tanah. Avernus-lah pintu yang menjembatani kedua dunia tersebut dengan harus melalui sungai Akheron bila ingin sampai pada penghakiman terakhirnya dan bertemu Minos, Rhadamanthus, dan Aiakos. Mereka akan menghubungkan jiwa-jiwa mati tersebut pada 3 jalan yang berbeda, sesuai bagaimana jiwa tersebut pernah hidup.


3 komentar:

[Sepotong Bait Serdadu Aghni] Kali ini Aku Habis

03.49 Unknown 0 Comments

Di atas gubahan pendulum api
Dia susuri bibir lingkar tanpa tahu akhir mana yang menjumpanya;
Aku tak akan habis
Kehormatan persembahkan pada bengis
Membawa prinsip suci pada nafsu hati, manis

Ingatkah dia pada ikhlasnya;
Ya sudahlah, mungkin malam ini ada yang lain
menjadi penina bobok pada cerita penghantar kantuk anak-anak itu
Malam tak hanya seribu,
Sabit masih  tegar menyabit kisahku

Lalu dibawanya nyanyian tidur itu pada tong sampah
Sudah tergantikan derik risih mungkin
Diarahkannya panah pada mazmurnya yang baru
Terus dan tetap mengincar dengan gencar

0 komentar:

Hening yang Meronta

07.05 Unknown 0 Comments

Sadarnya kembalikannya pada apa yang terlupa
Di saat adzanmu menyaut syafaatnya
Mereka tak direstui batas
Dan tentang jarak yang tak diiyakan segmen
Meski heningmu berontak ronta akan relungnya

Begitupula dia yang tak mampu bertipu muslihat atas rasanya



Masih terinspirasi dari kondisi perang dimana doa diantara dua manusia saling bersahut-sahutan menyerahkan orang yang disayangnya kepada Tuhan. Relasi yang terbentuk dapat antara istri-suami, orang tua-anak, ataupun saudara. Mereka saling merindu tetapi pertemuan mereka tidak bisa terjadi karena memang keadaan yang memaksakan mereka terpisah. Hati mereka kosong, hening, dan semua itulah yang meronta-ronta menuntut haknya. Hak untuk bertemu dan menggenapi yang kosong itu dengan suatu yang penuh.

0 komentar:

Jalan Sebuah Perjalanan

06.35 Unknown 0 Comments

Bagaimana setetes jingga termakan nila
Sesibir bahana tertindih gelegar pekik;
Tak ada yang bahagia, kami lupa tujuan
Kekuatan utama kamipun terhasut peluh

Ada yang kesana, ada yang kesini
Ada yang hanya berputar kesana kemari
Namun mereka tak melihatnya yang menyusur lurus
Menjelajahi sela renggang di antara kami
Menyirat jala pada keegoisan hati;
Bagaimana petualangan kalian, belum berhenti bukan?




Untuk semua yang menganggap adanya suatu proses, mungkin banyak hal yang membuat suatu proses tak seperti yang diharapkan. Kebersamaan, toleransi, keluarga, empati, saling memiliki, ketidakegoisan, kedewasaan, semuanya bukan nol, hanya saja belum pantas untuk dapat disebut hasil dari suatu proses yang sebenarnya. 

0 komentar:

[Sepotong Bait Serdadu Aghni] Apa Kabar, Ksatria?

02.44 Unknown 0 Comments

Tegasmu makin hari makin saja menegas
Pijakanku melemah pada jantung bertamengmu
Seakan kuatmu semakin menguras dayaku
Lalu bersisa apa?

Jangan pernah redup, ksatriaku
Semakinlah terang, ambil saja arang dalam diriku
Biar sinarmu semakin terlihat
Jangan dadamu gamang akan ujung cemeti dewa

Sehingga senyumku bisa terpatri olehnya
Di sana, pada marmer hitam
Dibawah salib emas yang tertatah
Menunggumu menaburkan doa yang dibawa bersama mawar 
Bukankah kau tak pernah membawakanku sebelumnya bukan?


Menunggumu pulang dan kembali, kau pasti baik-baik saja.



Puisi ini terinspirasi oleh para wanita-wanita pada jaman penjajahan dimana rasa kasih dan cinta mereka digantung oleh hidup dan mati pasangan mereka di dunia darah yang tidak terlihat merah, tetapi hitam. Akhirnya, para wanita yang dijadikan budak seks oleh penjajah tersebut hanya bisa berkabar dengan hampa dan menanti pada kealpaan, lalu mereka sendiri hilang dan kabar itu masih mengincar dada pemiliknya yang entah kemana. Untuk terakhir kalinya, wanita-wanita itu hanya ingin tanda cinta di atas tanah peristirahatannya walau cinta dan kasihnya tak akan pernah sampai pada titik yang dapat kita sebut nyata.

0 komentar:

[Sepotong Bait Serdadu Aghni] Aku pada yang Agung

02.22 Unknown 0 Comments

Kepada ksatria kabir mustahil berakhir
Terlampau agung terlewat luhur
Bara api yang masih merayu-rayu
Melambai aku dari balik pesinggrahannya
Lunglai ruai perapian rasa yang mengais
Semakin runtuh retak tak berampas

Setialah berperang bergerilya 
Kobaran api akan selalu dinyalakan doa
Yang kau rasa hanya panasnya

Teruslah berjuang berseteru
Hawa kan dibawa angin
Yang kau cicip hanya sejuknya
Dan disanalah sembahyangku bersemayam
Olehku yang tak pantas menamaiku sebagai aku


Dari sudut penantian, dari pangkal keagungan,
Doaku masih ada disini

16 April 2016


0 komentar:

[Sepotong Bait Serdadu Aghni] Hangus Sekali Lagi

02.15 Unknown 0 Comments

Bara kau nyalakan di dalam matamu
Harap kau sulutkan pada pandangmu
Rindu diam-diam membakar pupilmu
Ketakutan menjelma minyak dalam perapian itu
Mulutmu julurkan lidah dewi Aghni
Dosa apakah aku padanya
Ia sentuh perlahan kulitku
Ia habisi setiap sel yang ada padaku
Lalu tersisa abu

Kau membakarku hidup-hidup
Lewat pencecap dewi Aghni pun juga cecapmu
Sungguh itu darimu
Dan percayaku bertukar dengan kecewa
Masihkah kau ingin membakarku hidup-hidup?

0 komentar:

[Sepotong Bait Serdadu Aghni] Senja yang Terbakar

02.07 Unknown 0 Comments

Lidah Aghni terus menjilati belukar dengan manisnya mendamba sekecup tawang; sepertinya ikhlas akan cintanya yang tak akan nyata.

Senja yang terbakar menatap tajam dan terpaku,

Dia menyisir setiap gerik kita;
Siapa yang menjelma Aghni, siapa yang menjelma tawang
Siapa yang berapi-api, siapa yang hanya memandang.

Ditulisnya kembali sebuah cerita oleh senja itu;

Dia belum lelah,
dia bahagia akan prosanya yang selalu menagihnya
menuliskan kelemahan kita untuk bekal esok paginya.

Dia tak kekal dan tak akan sampai.




Ini merupakan puisi yang terinspirasi dari salah satu karya Adimas Imanuel, dalam puisi ini digambarkan seorang yang merasa tak mampu tetapi terus saja berusaha membuktikan bahwa dia mampu. Tujuan di dalam puisi ini cinta, tetapi dapat kita mengerti bahwa tidak hanya cinta sebenarnya yang ingin dijelaskan disini, tetapi apapun itu yang menjadi tujuan hidup manusia.

0 komentar: